Tujuan Ergonomi


C. Tujuan ERGON0MI

Istilah ergonomics biasanya lebih dikaitkan dengan kerja/aktivitas fisik (physical work), sedangkan human factors lebih umum dihubungkan dengan aspek Psikologi kerja (mental workloads dan cognitive issues) (Wlgnsubroto, 2011). Belakangan batasan-batasan dari kedua istilah tersebut tampaknya menjadi kabur dan tidak lagi dibedakan/dipertentangkan. Keduanya memperesentasikan  akhvitas studi tentang kerja dan interaksi antara manusia dengan sistem lingkungan fisik kerjanya. Tujuan utamanya adalab memperoleh kesesuaian antara kebutuhan dengan rancangan, pengembangan, implementasj dan evaluasi sistem manusia-mesin serta lingkungan fisiknya agar lebih produktif, nyaman, aman dan memuaskan untuk penggunaannya (Wignsubroto,2O11)

The main objectives of ergonomics are therefore to decrease the risk of Injury and illness, to improve worker performance, to decrease worker discomfort and to improve the quality of work (Thorley and Burger, 2006).

Secara garis besar tujuan ergonomic dapat dilihat pada gambar berikut.
sumber (Wilson and Corlett dalam Thorley and Burger, 2006).



Problematic kerja yang sering dialami manusia seperti eyestrain, headachess musculoskeletal disorders akan bisa dicegah melalui pendekatan ergormi,  Begitu juga kinerja optimal akan bisa dipenuhi manakala
Peralatan/fasilitas kerja, stasiun kerja, produk dan tata cara kerja bisa dirancang dan disesuaikan dengan pendekatan dan prinsip-prinsip ergonomi (Wignsubroto,2011)
                Peningkatan terhadap prinsip-prinsip ergonomi akan menghasilkan berbagai masalah seperti injuries and occupational diseases, increased absenteeism higher medical and insurance costs, increased probability of accidents and human erors, higher turnover of workers, less production output, lawsuits low quaIity of work, less spare capacity to deel with emergencies. Dan lain- lain (Wignsubroto, 2011).


Pengertian Kinerja


BAB II
LANDASAN TEORI

2.1       Kinerja
Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 1996 dalam Srimindarti, 2004). Menurut Mulyadi (2001), kinerja adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode. Menurut Mardiasmo (2009:10), kinerja (performance) adalah gambaran sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam rencana kerja suatu organisasi. Dengan adanya target maka organisasi maupun perseorangan dapat diketahui hasil kinerjanya

2.1.1    Pengertian Kinerja
Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 1996 dalam Srimindarti, 2004). Menurut Mulyadi (2001), kinerja adalah istilah umum yang digunakan untuk menunjukkan sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dapat dilakukan terhadap berbagai aktifitas dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik di mana perusahaan memerlukan penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian tersebut.
Kinerja adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 2001).

Penilaian kinerja adalah penentuan secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi, dan karyawannya berdasarkan sasaran, standart, dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya (Mulyadi, 2001;415). Tujuan pokok penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar membuahkan tindakan dan hasil yang  diinginkan. Menurut Armstrong (1998), penilaian kinerja didasarkan pada pengertian knowledge, skill, expertise, dan behaviour yang diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik dan analisa lebih luas terhadap attributes dan perilaku individu.
Penilaian kinerja sendiri dimanfaatkan manajemen untuk berbagai hal, diantaranya untuk mengelolah operasiorganisasi secara efektif dan efisien, membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan, mengidentifikasikan kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan serta kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan, penyedia umpan balik bagi karyawan tentang bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka, serta menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan (Mulyadi, 2001:416).
Sedangkan ukuran yang dapat dipakai untuk mengukur kinerja secara kuantitatif ada tiga macam (Mulyadi, 2001;421) yaitu :
1.    Kriteria tunggal (single criteria), merupakan ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja manajer.
2.    Kinerja beragam (multiple criteria), merupakan ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran untuk menilai kinerja manajer.
3.    Kinerja gabungan (composite criteria), merupakan ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran, memperhitungkan bobot masing-masing ukuran, dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran menyeluruh kinerja manajer.

2.2       Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Perusahaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perusahaan (Ruky, 2002:5) adalah :
1.    Kualitas sumber daya manusia
2.    Teknologi yang digunakan sebagai peralatan maupun metode kerja
3.    Kualitas input
4.    Kua litas lingkungan fisik (keselamatan kerja, kesehatan kerja, layout tempat kerja dan kebersihan).
5.    Sistem kompensasi dan imbalan

2.3      Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja mempunyai tujuan pokok yaitu untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan. Menurut Mulyadi (2001), manfaat sistem pengukuran kinerja adalah sebagai berikut:
1.    Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan secara maksimum.
2.    Membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan seperti promosi, pemberhentian dan mutasi.
3.    Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.
4.    Menyediakan umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka.
5.    Menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan.

2.4       Penilaian Kinerja
2.4.1.   Penilaian Kinerja Tradisional
Di dalam manajemen tradisional, ukuran kinerja yang biasa digunakan adalahukuran dari perspektif keuangan dengan alasan mudah untuk dilakukan. Kinerja lain, seperti peningkatan kepercayaan customer terhadap layanan jasa perusahaan, peningkatan kompetensi dan komitmen personal, kedekatan hubungan kemitraan perusahaan dengan pemasok, dan peningkatan cost effectiveness proses bisnis digunakan untuk melayani customer, diabaikan oleh manajemen karena sulit pengukurannya sehingga karena itu terdapat banyak kesalahan berpikir di dalam manajemen tradisional (Lasdi, 2002).
Penilaian dengan pengukuran kinerja tradisional berdasarkan kinerjakeuangan atau yang biasa disebut pengukuran kinerja tradisional menekankan pengukuran kinerja perusahaan melalui perhitungan rasio-rasio keuangan yang menurut Horne dan Wachowicz (1997) yaitu:
1.    Rasio Likuiditas, merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur perusahaan untuk memenuhi kewajban jangka pendeknya.
2.    Rasio Utang, yaitu rasio yang menunjukkan batasan dimana perusahaan didanai oleh utangnya.
3.    Rasio Pencakupan, merupakan rasio yang menghubungkan biaya keuangan perusahaan dengan kemampuan untuk membayar biaya tersebut.
4.    Rasio Aktivitas, yaitu rasio mengukur keefektifan perusahaan dengan menggunakan aktiva yang dimilikinya.
5.    Rasio Laba, merupakan rasio yang menghubungkan laba dengan penjualan dan investasi.
Menurut Anthony dan Govindarajan (2001), mengandalkan aspek financial saja tidak cukup, bahkan bisa jadi tidak berguna karena beberapa alasan, yaitu:
1.    Hal itu mendorong kegiatan jangka pendek yang tidak termasuk kepentingan jangka panjang perusahaan.
2.    Manajer unit bisnis mungkin tidak melakukan tindakan yang berguna untuk jangka panjang, untuk memperoleh laba jangka pendek.
3.    Menggunakan profit jangka pendek sebagai satu-satunya tujuan dapat mengganggu komunikasi antara manajer unit bisnis dan manajer senior.
4.    Pengendalian financial yang ketat bisa memotivasi manajer untuk memanipulasi data.
Kelemahan penilaian kinerja tradisional (Kaplan dan Norton, 1996) adalah
1.    Tidak mampu mengukur harta-harta yang tidak tampak (Intangible assets) dan harta – harta intelektual (SDM) perusahaan.
2.    Pengukuran kinerja yang hanya memerhatikan aspek keuangan tidak hanya mampu bercerita mengenai masa lalu perusahaan dan tidak mampu sepenuhnya menuntun perusahaan ke arah yang lebih baik.


2.4.2    Penilaian Kinerja dengan Menggunakan Organisasi Jasa
Perusahaan adalah suatu organisasi yang didirikan oleh seseorang atau sekelompok orang atau badan lain yang kegiatannya adalah melakukan produksi dan distribusi guna memenuhi kebutuhan ekonomis manusia. Perusahaan jasa adalah perusahaan yang menawarkan suatu tindakan kepada pihak lain (Soemarso, 1999).
Menurut Kotler (1997), jasa adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain. Pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak menghasilkan kepemilikan sesuatu. Jasa adalah tugas atau aktivitas yang dilakukan bagi seseorang pelanggan atau aktivitas yang dijalankan seseorang pelanggan dengan menggunakan produk atau fasilitas organisasi (Tjiptono, 2000). Ada empat karakteristik pada jasa yang membedakan dengan produk berwujud (Mowen, 2004), yaitu :
1.    Ketidakberwujudan (Intangibility)
Berarti bahwa pembeli jasa tidak dapat melihat,merasakan, mendengar, atau mencicipi suatu jasa sebelum jasa tersebut dibeli. Jadi jasa adalah produk tidak berwujud.
2.    Tidak tahan lama (Perishability)
Berarti jasa tidak dapat disimpan untuk kegunaan masa depan oleh pelanggan (ada beberapa kasus yang tidak umum, yaitu pada saat barang- barang berwujud tidak dapat disimpan).
3.    Tidak dapat dipisahkan (Inseparability) Berarti produsen dan pembeli jasa biasanya harus melakukan kontrak langsung pada saat pertukaran.
4.    Heterogenitas Berarti terdapat peluang variasi yang lebih besar pada penyelenggaraan jasa daripada produksi produk.

Menurut Tjiptono (2000), terdapat lima dimensi kualitas jasa :
1.    Reliabilitas (reliability), berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk memberikan layanan yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati.
2.    Daya tanggap (responsiveness), berkenaan dengan kesediaan dan kemampuan para karyawan untuk membantu para pelanggan dan merespons permintaan mereka, serta menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan kemudian memberikan jasa secara cepat.
3.    Jaminan  (assurance),  yaitu  perilaku  para  karyawan  mampu menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan yang bias menciptakan rasa aman bagi para pelanggannya. Hal ini berarti para karyawan selalu bersikap sopan dan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menangani setiap pertanyaan atau masalah pelanggan.
4.    Empati (emphaty), berarti perusahaan memahami masalah para pelanggannya dan bertindak demi kepentingan pelanggan. Memberikan perhatian personal kepada para pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman.
5.     Bukti fisik (tangibles), berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan, dan material yang digunakan perusahaan, serta penampilan karyawan.

2.5       Karakteristik Sistem Pengukuran Kinerja
Dengan munculnya berbagai paradigma baru di mana bisnis harus digerakkan oleh consumen-focused, suatu sistem pengukuran kinerja yang efektif paling tidak harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut (Yuwono dkk, 2002): Didasarkan pada masing-masing aktivitas dan karakteristik organisasi itu sendiri sesuai perspektif pelanggan; Evaluasi atas berbagai aktivitas, mengggunakan ukuran-ukuran kinerja yang consumen-validated; Sesuai dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang mempengaruhi pelanggan, sehingga menghasilkan penilaian yang komprehensif; Memberikan umpan balik untuk membantu seluruh anggota organisasi mengenali masalah-masalah yang mempunyai kemungkinan untuk diperbaiki.

2.6       Balanced Scorecard
Menurut Kaplan dan Norton (1996), Balanced Scorecard merupakan alat pengukur kinerja eksekutif yang memerlukan ukuran komprehensif dengan empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Sementara itu Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan Balanced Scorecard sebagai: “ameasurement and management system that views a business unit’s performance from four perspectives: financial, customer, internal business process, and learning and growth.”
Dengan demikian, Balanced Scorecard merupakan suatu alat pengukur kinerja perusahaan yang mengukur kinerja perusahaan secara keseluruhan, baik secara keuangan maupun nonkeuangan dengan menggunakan empat perspektif yaitu, perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, dan perspektif pertumbuhan dan pembelajaran. Pendekatan Balance Scorecard dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan pokok, yaitu (Kaplan dan Norton, 1996):
1.    Bagaimana penampilan perusahaan dimata para pemegang saham? (perspektif keuangan)
2.    Bagaimana pandangan para pelanggan terhadap perusahaan? (perspektif pelanggan)
3.    Apa yang menjadi keunggulan perusahaan? (perspektif bisnis internal).
4.    Apa perusahaan harus terus menerus melakukan perbaikan dan menciptakan nilai secara berkesinambungan? (perspektif pertumbuhan dan pembelajaran).
Selain itu, Balanced Scorecard juga memberikan kerangka berpikir untuk menjabarkan strategi perusahaan ke dalam segi operasional. Kaplan dan Norton (1996) mengatakan bahwa perusahaan menggunakan focus pengukuran scorecard untuk menghasilkan berbagai proses manajemen, meliputi :
1.    Memperjelas dan menerjemahkan visi dan strategi
2.    Mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis
3.    Merencanakan, menetapkan sasaran, dan menyelaraskan berbagai inisiatif strategis
4.    Meningkatkan umpan balik dan pembelajaran strategis
Dengan Balanced Scorecard, tujuan suatu perusahaan tidak hanya dinyatakan dalam ukuran keuangan saja, melainkan dinyatakan dalam ukuran dimana perusahaan tersebut menciptakan nilai terhadap pelanggan yang ada pada saat ini dan akan datang, dan bagaimana perusahaan tersebut harus meningkatkan kemampuan internalnya termasuk investasi pada manusia, sistem, dan prosedur yang dibutuhkan untuk memperoleh kinerja yang lebih baik di masa mendatang. Melalui Balanced Scorecard diharapkan bahwa pengukuran kinerja keuangan dan non-keuangan dapat menjadi bagian dari sistem informasi bagi seluruh pegawai dan tingkatan dalam organisasi. Saat ini Balance Scorecard tidak lagi dianggap sebagai pengukur kinerja, namun telah menjadi sebuah rerangka berpikir dalam pengembangan strategi.
2.7       Keunggulan Balanced Scorecard
Balanced Scorecard memiliki keunggulan yang menjadikan system manajemen strategik saat ini berbeda secara signifikan dengan sistem manajemen strategik dalam manajemen tradisional (Mulyadi,2001). Manajemen strategic tradisional hanya berfokus ke sasaran-sasaran yang bersifat keuangan, sedangkan sistem manajemen strategik kontemporer mencakup perspektif yang luas yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Selain itu berbagai sasaran strategik yang dirumuskan dalam sistem manajemen strategik tradisional tidak koheren satu dengan lainnya, sedangkan berbagai sasaran strategik dalam sistem manajemen strategic kontemporer dirumuskan secara koheren. Di samping itu, Balanced Scorecard menjadikan sistem manajemen strategic kontemporer memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh sistem manajemen strategik tradisional, yaitu dalam karakteristik keterukuran dan keseimbangan. Menurut Mulyadi (2001), keunggulan pendekatan Balanced Scorecard dalam system perencanaan strategic adalah mampu menghasilkan rencana strategic yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.    Komprehensif
Balanced Scorecard menambahkan perspektif yang ada dalam perencanaan strategic, dari yang sebelumnya hanya pada perspektif keuangan, meluas ke tiga perspektif yang lain, yaitu : pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan perspektif rencana strategic ke perspektif nonkeuangan tersebut menghasilkan manfaat sebagai berikut:
a.    Menjanjikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka panjang,
b.    Memampukan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks.
2.    Koheren
Balanced Scorecard mewajibkan personil untuk membangun hubungan sebab akibat di antara berbagai sasaran strategik yang dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik yang ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan.
Dengan demikian, kekoherenan sasaran strategik yang dihasilkan dalam sistem perencanaan strategik memotivasi personel untuk bertanggung jawab dalam mencari inisiatif strategik yang bermanfaat untuk menghasilkan kinerja keuangan. Sistem perencanaan strategic yang menghasilkan sasaran strategik yang koheren akan menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan berjangka panjang, karena personel dimotivasi untuk mencari inisiatif strategik yang mempunyai manfaat bagi perwujudan sasaran strategik di perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, pembelajaran dan pertumbuhan. Kekoherenan sasaran strategic yang menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan sangat dibutuhkan oleh perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompetitif.
1.    Seimbang
Keseimbangan sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja keuangan berjangka panjang. Jadi perlu diperlihatkan garis keseimbangan yang harus diusahakan dalam menetapkan sasaran- sasaran strategic di keempat perspektif.
2.    Terukur
Keterukuran sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik menjanjikan ketercapaian berbagai sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Semua sasaran strategik ditentukan oleh ukurannya, baik untuk sasaran strategik di perspektif keuangan maupun sasaran strategik di perspektif non-keuangan.

Dengan Balanced Scorecard, sasaran-sasaran strategik yang sulit diukur, seperti sasaran-sasaran strategik di perspektif nonkeuangan, ditentukan ukurannya agar dapat dikelola, sehingga dapat diwujudkan. Dengan demikian keterukuran sasaran-sasaran strategik di perspektif nonkeuangan tersebut menjanjikan perwujudan berbagai sasaran strategik nonkeuangan, sehingga kinerja keuangan dapat berlipat ganda dan berjangka panjang.

2.8       Pengukuran Kinerja dengan Balanced Scorecard
Balanced Scorecard mengembangkan seperangkat tujuan unit bisnis melampaui rangkuman ukuran finansial, yang mampu membuat eksekutif perusahaan mengukur seberapa unit bisnis mereka menciptakan nilai bagi para pelanggan perusahaan saat ini dan yang akan datang, serta seberapa banyak perusahaan harus meningkatkan kapabilitas internal dan investasi dalam sumber daya manusia. Definisi Balanced Scorecard yaitu : “the balanced scorecard is a management system (not only a measurement system) that enables organizations to clarify their vision and strategy and translate them into action. It provides feedback around both the internal business processes and external outcomes in order to continuously improve strategic performance and results. When fully deployed, the balanced scorecard transforms strategic planning from an academic exercise into the nerve center of an enterprise”. (www.balancedscorecard.org). Menurut Tunggal (2000:2), Balanced Scorecard merupakan kelompok tolak ukur kinerja yang terintegrasi yang berasal dari strategi perusahaan dan mendukung strategi perusahaan di seluruh organisasi.
Balanced Scorecard menurut Kaplan dan Norton (2000:9- 16) merupakan suatu konsep yang berusaha menerjemahkan misi dan strategi perusahaan ke dalam seperangkat ukuran yang menyeluruh yang memberi kerangka kerja bagi pengukuran dan sistem manajemen strategis.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Balanced Scorecard merupakan suatu sistem pengukuran kinerja dengan suatu pendekatan efektif yang seimbang (balanced) antara empat perspektif yang berbeda yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara ukuran keuangan

2.9       Empat Perspektif Dalam Balanced Scorecard
Kaplan dan Norton membagi Balanced Scorecard dalam empat perspektif pengukuran yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan proses belajar dan berkembang.

2.9.1    Perspektif Keuangan/Finansial
Analisis Rasio Keuangan atau Financial Ratio adalah merupakan suatu alat analisa yang digunakan oleh perusahaan untuk menilai kinerja keuangan berdasarkan data perbandingan masing-masing pos yang terdapat di laporan keuangan seperti Laporan Neraca, Rugi / Laba, dan Arus Kas dalam periode tertentu. 
Salah satu alat yang digunakan untuk mengetahui kondisi keuangan perusahaan dapat berwujud laporan keuangan. Laporan keuangan menyajikan gambaran mengenai posisi keuangan dari kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba. Posisi keuangan perusahaan ditunjukkan dalam laporan neraca, dalam laporan neraca kita dapat mengetahui kekayaan atau assets perusahaan yang dimiliki (sisi aktiva), dan dari sisi pasiva dapat kita ketahui darimana dana-dana untuk membiayai aktiva tersebut (dari modal sendiri atau hutang), sedangkan kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba dapat kita lihat dari laporan laba rugi perusahaan. Analisis laporan keuangan merupakan proses yang penuh pertimbangan dalam rangka membantu mengevaluasi posisi keuangan dan hasil operasi perusahaan pada masa sekarang dan masa lalu, dengan tujuan untuk menentukan eliminasi dan prediksi yang paling mungkin mengenai kondisi dan kinerja perusahaan pada masa mendatang. Analisis terhadap laporan keuangan suatu perusahaan pada dasarnya untuk mengetahui tingkat profitabilitas, tingkat solvabilitas, tingkat likuiditas dan stabilitas usaha, dan tingkat resiko atau tingkat kesehatan suatu perusahaan.
Analisis Data Laporan Keuangan dilakukan dengan menganalisa masing - masing pos yang terdapat di dalam laporan keuangan dalam bentuk rasio posisi keuangan dengan tujuan agar dapat memaksimalkan kinerja perusahaan untuk masa yang akan datang. Setiap tutup periode akhir bulan biasanya accounting menyiapakan dan menyusun Laporan Keuangan yang terdiri dari Laporan Neraca, Rugi Laba, Arus Kas, Perubahan Modal, dan Laporan tersebut diserahkan ke pimpinan perusahaan. Hal umum yang biasa terjadi adalah mereka hanya fokus terhadap Laporan Laba Rugi, namun ada hal yang lebih penting yang perlu disajikan dalam penyampaian laporan ini yaitu mengenai Analisis Laporan Keuangan. 
Dalam organisasi sektor publik perspektif keuangan untuk menjawab pertanyaan bagaimana kita meningkatkan pendapatan dan mengurangi biaya? Perspektif keuangan menjelaskan apa yang diharapkan oleh penyedia sumber daya terhadap kinerja keuangan , pada perpektif keuangan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1.    Profitabilitas
Rasio profitabilitas merupakan rasio yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba selama periode tertentu dan juga memberikan gambaran tentang tingkat efektifitas manajemen dalam melaksanakan kegiatan operasinya. Efektifitas manajemen disini dilihat dari laba yang dihasilkan terhadap penjualan dan investasi perusahaan. Rasio ini disebut juga rasio rentabilitas. Rasio profitabilitas merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam mendapatka laba melalui semua kemampuan dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas, modal, jumlah karyawan, jumlah cabang dan sebagainya (Syafri, 2008:304). Rasio profitabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a.    Margin laba bersih (Net Profit Margin)
Net Profit Margin (NPM) adalah rasio yang digunakan untuk menunjukkan kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan bersih. Menurut Bastian dan Suhardjono (2006), Net Profit Margin adalah perbandingan antara laba bersih dengan penjualan. Rasio ini sangat penting bagi manajer operasi karena mencerminkan strategi penetapan harga penjualan yang diterapkan perusahaan dan kemampuannya untuk mengendalikan beban usaha. Menurut  Weston dan Copeland (1998), semakin besar Net Profit Margin berarti semakin efisien perusahaan tersebut dalam mengeluarkan biaya-biaya sehubungan dengan kegiatan operasinya.
b.    Return On Investment.
Return on investment merupakan perbandingan antara laba bersih setelah pajak dengan total aktiva. Return on investment adalah merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan secara keseluruhan didalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia didalam perusahaan (Syamsuddin, 2009:63). Semakin tinggi rasio ini semakin baik keadaan suatu perusahaan. Return on investment merupakan rasio yang menunjukkan berapa besar laba bersih diperoleh perusahaan bila di ukur dari nilai aktiva (Syafri, 2008:63).
c.    Return On Equity
Return on equity merupakan perbandingan antara laba bersih sesudah pajak dengan total ekuitas. Return on equity merupakan suatu pengukuran dari penghasilan (income) yang tersedia bagi para pemilik perusahaan (baik pemegang saham biasa maupun pemegang saham preferen) atas modal yang mereka investasikan di dalam perusahaan (Syafri, 2008:305).
Return on equity adalah  rasio yang memperlihatkan sejauh manakah perusahaan mengelola modal sendiri (net worth) secara efektif, mengukur tingkat keuntungan dari investasi yang telah dilakukan pemilik modal sendiri atau pemegang saham perusahaan (Sawir 2009:20).  ROE menunjukkan rentabilitas modal sendiri atau yang sering disebut rentabilitas usaha.
2.    Likuiditas
Menurut Sutrisno (2009:215), “Likuiditas adalah kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban-kewajibannya yang segera dipenuhi.” Menurut Munawir (2007:31), “Likuiditas menunjukkan kemampuan suatu perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang segera harus dipenuhi, atau kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan pada saat ditagih.” Perusahaan dikatakan likuid apabila memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya dan jika tidak mampu disebut likuid. Rasio likuiditas digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendek yang segera harus dipenuhi. Rasio likuiditas ini terdiri dari:
a.    Current Ratio
Menurut Sutrisno (2009:216), “Current Ratio adalah rasio yang membandingkan antara aktiva lancar yang memiliki perusahaan dengan hutang jangka pendek. Aktiva lancar meliputi kas, piutang dagang, efek, persediaan dan aktiva lancar lainnya. Sedangkan hutang jangka pendek meliputi hutang dagang, hutang wesel, hutang bank, hutang gaji dan hutang lainnya yang segera harus dibayar
3.    Solvabilitas
Rasio ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka panjang. Ukuran yang dipakai untuk mengetahui solvabilitas adalah dengan menggunakan Debt to equity ratio, dan debt ratio.
a.    Debt Ratio
Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam menjamin hutang-hutangnya dengan sejumlah aktiva yang dimilikinya. Semakin tinggi total debt semakin besar jumlah modal pinjaman yang digunakan di dalam menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. (Syamsudin, 2007:54).
a.    Debt to Equity Ratio
Rasio ini untuk mengukur seberapa besar perusahaan dibelanjai oleh pihak kreditur. Semakin besar rasio ini berarti semakin besar dana yang di ambil dari luar.


2.9.2    Perspektif Pelanggan
Filosofi manajemen terkini telah menunjukkan peningkatan pengakuan atas pentingnya konsumen focus dan konsumen satisfaction. Perspektif ini merupakan leading indicator. Jadi, jika pelanggan tidak puas maka mereka akan mencari produsen lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kinerja yang buruk dari perspektif ini akan menurunkan jumlah pelanggan di masa depan meskipun saat ini kinerja keuangan terlihat baik.
Oleh Kaplan dan Norton (2001) perspektif pelanggan dibagi menjadi dua
kelompok pengukuran, yaitu: customer core measurement dan customer value prepositions.  Customer  Core  Measurement  memiliki  beberapa  komponen
pengukuran, yaitu:
1.    Market Share (pangsa pasar); Pengukuran ini mencerminkan bagian yang dikuasai perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, yang meliputi: jumlah pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit penjualan.
2.    Customer Retention (retensi pelanggan); Mengukur tingkat dimana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan konsumen.
3.    Customer Acquisition (akuisisi pelanggan); mengukur tingkat di mana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan baru atau memenangkan bisnis baru.
4.    Customer Satisfaction (kepuasan pelanggan); Menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan kriteria kinerja spesifik dalam value proposition.
5.    Customer Profitability (profitabilitas pelanggan); mengukur keuntungan yang diperoleh perusahaan dari penjualan produk/jasa kepada konsumen.
Sedangkan Customer Value Proposition merupakan pemicu kinerja yang terdapat pada core value proposition yang didasarkan pada atribut sebagai berikut:
a.    Product/service attributes
Meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga, dan kualitas. Pelanggan memiliki preferensi yang berbeda-beda atas produk yang ditawarkan. Ada yang mengutamakan fungsi dari produk, kualitas, atau harga yang murah. Perusahaan harus mengidentifikasikan apa yang diinginkan pelanggan atas produk yang ditawarkan.
b.    Konsumen relationship
Menyangkut perasaan pelanggan terhadap proses pembelian produk yang ditawarkan perusahaan. Perasaan konsumen ini sangat dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap pelanggan berkaitan dengan masalah waktu penyampaian. Waktu merupakan komponen yang penting dalam persaingan perusahaan. Konsumen biasanya menganggap penyelesaian order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi kepuasan mereka.
c.    Image and reputation
Menggambarkan faktor-faktor intangible yang menarik seorang konsumen untuk berhubungan dengan perusahaan. Membangun image dan reputasi dapat dilakukan melalui iklan dan menjaga kualitas seperti yang dijanjikan.
Tujuan dari perspektif kepuasan pelanggan antara sektor publik dengan sektor swasta pada intinya sama yaitu untuk mengetahui bagaimana pelanggan melihat organisasi ? Dengan begitu fokus utama organisasi sektor publik pada perspektif ini adalah penyediaan barang dan jasa publik yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Untuk melihat tingkat kepuasan pelanggan, Valarie Zeithaml, A. Parasuraman, dan Leonard A. Berry (1996) telah mengembangkan sebuah instrumen yang dinamakan Service Quality (servqual) yang terbukti mampu mengukur tingkat kepuasan pelanggan atas pelayanan yang mereka terima kedalam 5 dimensi yaitu:
1.    Wujud fisik, adalah penampilan fisik seperti: tempat pelayanan, sarana dan prasarana yang dapat dilihat langsung secara fisik oleh pelanggan.
2.    Keandalan, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu dan memuaskan.
3.    Keandalan, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu dan memuaskan.
4.    Daya tanggap, adalah kemampuan pegawai untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
5.    Jaminan, adalah pengetahuan dan keramahan pegawai yang dapat  menimbulkan kepercayaan diri pelanggan terhadap perusahaan.
6.    Empati, adalah ketersediaan pegawai perusahaan untuk peduli, memberikan perhatian pribadi kepada pelanggan dan keyamanan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami kebutuhan pelanggan.

2.9.3    Perspektif Proses Bisnis Internal
Pada dasarnya perspektif bisnis internal adalah membangun keunggulan organisasi melalui perbaikan proses internal organisasi yang berkelanjutan, dan perspektif ini harus mampu menjawab pertanyaan kita harus unggul dibidang apa? serta bagaimana kita membangun keunggulan?. Beberapa aspek yang dapat memberikan gambaran kinerja perspektif ini, yaitu:
1.    Sarana dan prasarana, adalah variabel yang menggambar kondisi sarana  dan  prasarana yang dimiliki dalam mendukung kegiatan internal.
2.    Proses, maksudnya adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan pegawai atas  suatu rangkaian pekerjaan yang dilakukan dalam memberikan pelayanan publik.
3.    Kepuasan berkerja, adalah variabel yang menggambarkan tingkat   kepuasan berkerja pegawai.


2.9.4    Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan
Dalam organisasi sektor public, salah satu perspektif balanced scorecard yaitu pertumbuhan dan pembelajaran difokuskan untuk menjawab pertanyaan bagaimana organisasi terus melakukan perbaikan dan menambah nilai bagi pelanggan dan stakeholdersnya. Dengan demikian organisasi sektor publik harus terus berinovasi, berkreasi dan belajar untuk melakukan perbaikan secara terusmenerus dan menciptakan pertumbuhan yang berkelanjutan. Indikator kinerja yang dapat menggambarkan perspektif ini adalah:
1.    Motivasi (rewards and punishment), variabel ini menggambarkan tingkat kepuasan pegawai atas kebijakan-kebijakan yang diambil manajemen dalam menjalankan organisasi.
2.    Kesempatan mengembangkan diri, adalah variabel yang menggambarkan tingkat kepuasan pegawai atas program-program pengembangan diri yang diterapkan oleh organisasi.
3.    Inovasi, merupakan variabel yang menunjukkan adanya kesempatan bagi pegawai untuk kreatif dan menemukan hal-hal baru dalam upaya peningkatan pelayanan publik.
4.    Suasana dalam berkerja, adalah variabel yang menggambarkan tingkat kepuasan pegawai atas suasana kerja, hubungan antara pegawai dengan pimpinan dan kerjasama tim dalam menyelesaikan pekerjaan

2.10    Balanced Scorecard Sebagai Penilaian Kinerja
Menurut Mulyadi dan Setyawan (2001:218), Balanced Scorecard memberikan rangka komprehensif untuk menjabarkan misi ke dalam sasaran-sasaran strategi. Sasaran-sasaran tersebut dapat dirumuskan karena balanced scorecard menggunakan empat perspektif yaitu: keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perspektif keuangan akan menilai sasaran keuangan yang perlu dicapai organisasi dalam mewujudkan visinya. Perspektif pelanggan memberikan gambaran segmen pasar yang dituju serta tuntutan kebutuhan mereka dalam upaya untuk mecapai sasaran keuangan tertentu. Perspektif proses bisnis internal memberikan gambaran proses yang harus dibangun untuk melayani pelanggan dan untuk mencapai sasaran keuangan tertentu. Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan merupakan pemacu untuk membangun kompetisi personel, prasarana sistem informasi dan suasana lingkungan kerja yang diperlukan untuk mewujudkan sasaran keuangan, pelanggan, serta proses bisnis internal.

2.11     Kuesioner
Kuesioner ialah merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana tingkat kepuasan pelanggan yang sebenarnya. Setelah mendapatkan pelayanan yang diberikan, pemberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden, untuk dijawab kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variabel dan dimensi yang akan diukur dan tahu apa yang bisa di harapkan dari responden.
Skala likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam kuesioner, dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa survey. Dalam penelitian ini penulis menyediakan lima pilihan kelas bagi para responden untuk menentukan tingkat kepuasan dan tingkat harapan responden terhadap suatu pernyataan dari pilihan yang tersedia. Kelas atau interval dalam kuesioner ini adalah:
1. = Sangat Tidak Puas                                   5. = Puas Sekali
2. = Tidak Puas
3. = Cukup Puas
4. = Puas

Setelah banyaknya kelas diketahui, kemudian buat rentang skala dimana letak rata-rata penelitian responden terhadap unsur diferensinya dan sejauh mana variasinya.

2.12 Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukam fungsi ukurannya (Azwar 1986). Selain itu validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan bahwa variabel yang diukur memang benar-benar variabel yang hendak diteliti oleh peneliti (Cooper dan Schindler, dalam Zulganef, 2006).
Sedangkan menurut Sugiharto dan Sitinjak (2006), validitas berhubungan dengan suatu peubah mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas dalam penelitian menyatakan derajat ketepatan alat ukur penelitian terhadap isi sebenarnya yang diukur. Uji validitas adalah uji yang digunakan untuk menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan dalam suatu mengukur apa yang diukur. Ghozali (2009) menyatakan bahwa uji validitas digunakan untuk mengukur sah,  atau valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut.
Suatu tes dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi jika tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang  tepat dan akurat sesuai dengan maksud dikenakannya tes tersebut. Suatu tes menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan diadakannya pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas rendah.
Sisi lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat ukur yang valid dapat menjalankan fungsi ukurnya dengan tepat, juga memiliki kecermatan tinggi. Arti kecermatan disini adalah dapat mendeteksi perbedaan-perbedaan kecil yang ada pada atribut yang diukurnya.
Dalam pengujian validitas terhadap kuesioner, dibedakan menjadi 2, yaitu validitas faktor dan validitas item. Validitas faktor diukur bila item yang disusun menggunakan lebih dari satu faktor (antara faktor satu dengan yang lain ada kesamaan).
Pengukuran validitas faktor ini dengan cara mengkorelasikan antara skor faktor (penjumlahan item dalam satu faktor) dengan skor total faktor (total keseluruhan faktor). Validitas item ditunjukkan dengan adanya korelasi atau dukungan terhadap item total (skor total), perhitungan dilakukan dengan cara mengkorelasikan antara skor item dengan skor total item. Bila kita menggunakan lebih dari satu faktor berarti pengujian validitas item dengan cara mengkorelasikan antara skor item dengan skor faktor, kemudian dilanjutkan mengkorelasikan antara skor item dengan skor total faktor (penjumlahan dari beberapa faktor).
Dari hasil perhitungan korelasi akan didapat suatu koefisien korelasi yang digunakan untuk mengukur tingkat validitas suatu item dan untuk menentukan apakah suatu item layak digunakan atau tidak. Dalam penentuan layak atau tidaknya suatu item yang akan digunakan, biasanya dilakukan uji signifikansi koefisien korelasi pada taraf signifikansi 0,05, artinya suatu item dianggap valid jika berkorelasi signifikan terhadap skor total. Untuk melakukan uji validitas ini menggunakan program SPSS.  Teknik pengujian yang sering digunakan para peneliti untuk uji validitas adalah menggunakan korelasi Bivariate Pearson (Produk Momen Pearson). Analisis ini dengan cara mengkorelasikan masing-masing skor item dengan skor total. Skor total adalah penjumlahan dari keseluruhan item. Item-item pertanyaan yang berkorelasi signifikan dengan skor total menunjukkan item-item tersebut mampu memberikan dukungan dalam mengungkap apa yang ingin diungkap à Valid. Jika r hitung ≥ r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0,05) maka instrumen atau item-item pertanyaan berkorelasi signifikan terhadap skor total (dinyatakan valid).

2.13     Reliabilitas
Reliabilitas berasal dari kata reliability. Pengertian dari reliability (rliabilitas) adalah keajegan pengukuran (Walizer, 1987). Sugiharto dan Situnjak (2006) menyatakan bahwa reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa instrumen yang digunakan dalam penelitian untuk memperoleh informasi yang digunakan dapat dipercaya sebagai alat pengumpulan data dan mampu mengungkap informasi yang sebenarnya dilapangan. Ghozali (2009) menyatakan bahwa reliabilitas adalah alat untuk mengukur suatu kuesioner yang merupakan indikator dari peubah atau konstruk. Suatu kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Reliabilitas suatu test merujuk pada derajat stabilitas, konsistensi, daya prediksi, dan akurasi. Pengukuran yang memiliki reliabilitas yang tinggi adalah pengukuran yang dapat menghasilkan data yang reliabel
Menurut Masri Singarimbun, realibilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali – untuk mengukur gejala yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relative konsisten, maka alat pengukur tersebut reliable. Dengan kata lain, realibitas menunjukkan konsistensi suatu alat pengukur di dalam pengukur gejala yang sama.
Menurut Sumadi Suryabrata (2004: 28) reliabilitas menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat dipercaya. Hasil pengukuran harus reliabel dalam artian harus memiliki tingkat konsistensi dan kemantapan. Reliabilitas, atau keandalan, adalah konsistensi dari serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur. Hal tersebut bisa berupa pengukuran dari alat ukur yang sama (tes dengan tes ulang) akan memberikan hasil yang sama, atau untuk pengukuran yang lebih subjektif, apakah dua orang penilai memberikan skor yang mirip (reliabilitas antar penilai). Reliabilitas tidak sama dengan validitas. Artinya pengukuran yang dapat diandalkan akan mengukur secara konsisten, tapi belum tentu mengukur apa yang seharusnya diukur. Dalam penelitian, reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran dari suatu tes tetap konsisten setelah dilakukan berulang-ulang terhadap subjek dan dalam kondisi yang sama. Penelitian dianggap dapat diandalkan bila memberikan hasil yang konsisten untuk pengukuran yang sama.
Tinggi rendahnya reliabilitas, secara empirik ditunjukan oleh suatu angka yang disebut nilai koefisien reliabilitas. Reliabilitas yang tinggi ditunjukan dengan nilai rxx mendekati angka 1. Kesepakatan secara umum reliabilitas yang dianggap sudah cukup memuaskan jika ≥ 0.700. Pengujian reliabilitas instrumen dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach karena instrumen penelitian ini berbentuk angket dan skala bertingkat.

2.14     Penelitian Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian ini, penulis telah terlebih dahulu mempelajari beberapa penelitian tentang pengukuran kinerja perusahaan yang menggunakan metode balanced scorecard. Masing-masing penelitian tersebut memiliki cara pembahasan dan penekanan analisis data yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang dan kesulitan yang dihadapi oleh peneliti.
1.    Penelitian tentang penilaian kinerja menggunakan metode Balanced Scorecard telah dilakukan sebelumnya, antara lain dilakukan oleh Sudarmayasa (2002) yang berjudul Penerapan Balanced Scorecard sebagai alat penilaian kinerja pada PT EMKL Badung. Variabel yang diteliti menggunakan empat perspektif yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Hasil dari penelitian ini bahwa kinerja PT EMKL Badung dari tahun 1999-2001 ditinjau dari empat perspektif Balanced Scorecard adalah mengalami peningkatan meskipun masih terdapat beberapa penurunan di dalam melakukan penilaian seperti pada rasio profitabilitas. Namun, penurunan itu tidak begitu mempengaruhi perusahaan.
2.    Penelitian kedua dilakukan oleh Semadi (2005) yang berjudul Penilaian Kinerja PDAM Kabupaten Klungkung. Variabel yang diteliti menggunakan empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja PDAM Kabupaten Klungkung periode 2002-2004 meningkat tiap tahunnya.
3.    Penelitian ketiga dilakukan oleh Turker (2006) yang berjudul Analisis Penilaian Kinerja dengan Metode Balanced Scorecard pada Villa Puri Taman Merak Badung. Empat perpektif yang diteliti dari perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan kinerja Villa Puri Taman Merak Bandung dari segi kinerja keuangan, produktivitas karyawan, dan juga kepuasan karyawan.
Ketiga penelitian di atas memiliki persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama melakukan penilaian kinerja dengan menggunakan empat perspektif. Adapun perspektif Balanced Scorecard yang digunakan adalah perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, serta perspekif pembelajaran dan pertumbuhan.