BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kinerja
Kinerja adalah suatu tampilan keadaan
secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau
prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam
memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 1996 dalam Srimindarti,
2004). Menurut Mulyadi (2001), kinerja adalah istilah umum yang digunakan untuk
menunjukkan sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi
pada suatu periode. Menurut Mardiasmo (2009:10), kinerja (performance) adalah
gambaran sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam rencana
kerja suatu organisasi. Dengan adanya target maka organisasi maupun
perseorangan dapat diketahui hasil kinerjanya
2.1.1
Pengertian Kinerja
Kinerja adalah suatu tampilan keadaan
secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau
prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam
memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 1996 dalam Srimindarti,
2004). Menurut Mulyadi (2001), kinerja adalah istilah umum yang digunakan untuk
menunjukkan sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi
pada suatu periode.
Berdasarkan pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dapat
dilakukan terhadap berbagai aktifitas dalam rantai nilai yang ada pada
perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik
yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan
titik di mana perusahaan memerlukan penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan
pengendalian tersebut.
Kinerja adalah suatu tampilan keadaan
secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau
prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam
memanfaatkan sumber-sumber daya yang dimiliki (Helfert, 2001).
Penilaian kinerja adalah penentuan
secara periodik efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi,
dan karyawannya berdasarkan sasaran, standart, dan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya (Mulyadi, 2001;415). Tujuan pokok penilaian kinerja adalah
untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar
perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya agar membuahkan tindakan dan hasil
yang diinginkan. Menurut Armstrong
(1998), penilaian kinerja didasarkan pada pengertian knowledge, skill, expertise, dan behaviour yang diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan dengan baik
dan analisa lebih luas terhadap attributes dan perilaku individu.
Penilaian kinerja sendiri dimanfaatkan
manajemen untuk berbagai hal, diantaranya untuk mengelolah operasiorganisasi
secara efektif dan efisien, membantu pengambilan keputusan yang bersangkutan
dengan karyawan, mengidentifikasikan kebutuhan pelatihan dan pengembangan
karyawan serta kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan, penyedia
umpan balik bagi karyawan tentang bagaimana atasan mereka menilai kinerja mereka,
serta menyediakan suatu dasar bagi distribusi penghargaan (Mulyadi, 2001:416).
Sedangkan ukuran yang dapat dipakai
untuk mengukur kinerja secara kuantitatif ada tiga macam (Mulyadi, 2001;421)
yaitu :
1.
Kriteria tunggal
(single criteria), merupakan ukuran
kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran untuk menilai kinerja manajer.
2.
Kinerja beragam
(multiple criteria), merupakan ukuran
kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran untuk menilai kinerja manajer.
3.
Kinerja gabungan
(composite criteria), merupakan
ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran, memperhitungkan bobot
masing-masing ukuran, dan menghitung rata-ratanya sebagai ukuran menyeluruh
kinerja manajer.
2.2 Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Kinerja Perusahaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
perusahaan (Ruky, 2002:5) adalah :
1.
Kualitas sumber
daya manusia
2.
Teknologi yang
digunakan sebagai peralatan maupun metode kerja
3.
Kualitas input
4.
Kua litas
lingkungan fisik (keselamatan kerja, kesehatan kerja, layout tempat kerja dan kebersihan).
5.
Sistem
kompensasi dan imbalan
2.3 Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja
Pengukuran
kinerja mempunyai tujuan pokok yaitu untuk memotivasi karyawan dalam mencapai
sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan
sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan. Menurut Mulyadi
(2001), manfaat sistem pengukuran kinerja adalah sebagai berikut:
1. Mengelola
operasi organisasi secara efektif dan efisien melalui pemotivasian karyawan
secara maksimum.
2. Membantu
pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan karyawan seperti promosi,
pemberhentian dan mutasi.
3. Mengidentifikasi
kebutuhan pelatihan dan pengembangan karyawan dan untuk menyediakan kriteria
seleksi dan evaluasi program pelatihan karyawan.
4. Menyediakan
umpan balik bagi karyawan mengenai bagaimana atasan mereka menilai kinerja
mereka.
5. Menyediakan
suatu dasar bagi distribusi penghargaan.
2.4 Penilaian Kinerja
2.4.1. Penilaian Kinerja Tradisional
Di dalam manajemen tradisional, ukuran
kinerja yang biasa digunakan adalahukuran dari perspektif keuangan dengan alasan
mudah untuk dilakukan. Kinerja lain, seperti peningkatan kepercayaan customer terhadap layanan jasa
perusahaan, peningkatan kompetensi dan komitmen personal, kedekatan hubungan
kemitraan perusahaan dengan pemasok, dan peningkatan cost effectiveness proses bisnis digunakan untuk melayani customer, diabaikan oleh manajemen
karena sulit pengukurannya sehingga karena itu terdapat banyak kesalahan
berpikir di dalam manajemen tradisional (Lasdi, 2002).
Penilaian dengan pengukuran kinerja tradisional
berdasarkan kinerjakeuangan atau yang biasa disebut pengukuran kinerja
tradisional menekankan pengukuran kinerja perusahaan melalui perhitungan rasio-rasio
keuangan yang menurut Horne dan Wachowicz (1997) yaitu:
1.
Rasio
Likuiditas, merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur perusahaan untuk
memenuhi kewajban jangka pendeknya.
2.
Rasio Utang,
yaitu rasio yang menunjukkan batasan dimana perusahaan didanai oleh utangnya.
3.
Rasio
Pencakupan, merupakan rasio yang menghubungkan biaya keuangan perusahaan dengan
kemampuan untuk membayar biaya tersebut.
4.
Rasio Aktivitas,
yaitu rasio mengukur keefektifan perusahaan dengan menggunakan aktiva yang
dimilikinya.
5.
Rasio Laba,
merupakan rasio yang menghubungkan laba dengan penjualan dan investasi.
Menurut Anthony dan Govindarajan (2001),
mengandalkan aspek financial saja tidak cukup, bahkan bisa jadi tidak berguna
karena beberapa alasan, yaitu:
1.
Hal itu
mendorong kegiatan jangka pendek yang tidak termasuk kepentingan jangka panjang
perusahaan.
2.
Manajer unit
bisnis mungkin tidak melakukan tindakan yang berguna untuk jangka panjang,
untuk memperoleh laba jangka pendek.
3.
Menggunakan
profit jangka pendek sebagai satu-satunya tujuan dapat mengganggu komunikasi
antara manajer unit bisnis dan manajer senior.
4.
Pengendalian
financial yang ketat bisa memotivasi manajer untuk memanipulasi data.
Kelemahan penilaian kinerja tradisional
(Kaplan dan Norton, 1996) adalah
1.
Tidak mampu
mengukur harta-harta yang tidak tampak (Intangible assets) dan harta – harta
intelektual (SDM) perusahaan.
2.
Pengukuran
kinerja yang hanya memerhatikan aspek keuangan tidak hanya mampu bercerita
mengenai masa lalu perusahaan dan tidak mampu sepenuhnya menuntun perusahaan ke
arah yang lebih baik.
2.4.2 Penilaian Kinerja dengan Menggunakan
Organisasi Jasa
Perusahaan adalah suatu organisasi yang
didirikan oleh seseorang atau sekelompok orang atau badan lain yang kegiatannya
adalah melakukan produksi dan distribusi guna memenuhi kebutuhan ekonomis
manusia. Perusahaan jasa adalah perusahaan yang menawarkan suatu tindakan
kepada pihak lain (Soemarso, 1999).
Menurut Kotler (1997), jasa adalah
setiap tindakan atau perbuatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada
pihak lain. Pada dasarnya bersifat intangible (tidak berwujud fisik) dan tidak
menghasilkan kepemilikan sesuatu. Jasa adalah tugas atau aktivitas yang
dilakukan bagi seseorang pelanggan atau aktivitas yang dijalankan seseorang
pelanggan dengan menggunakan produk atau fasilitas organisasi (Tjiptono, 2000).
Ada empat karakteristik pada jasa yang membedakan dengan produk berwujud (Mowen,
2004), yaitu :
1.
Ketidakberwujudan
(Intangibility)
Berarti bahwa pembeli jasa tidak dapat
melihat,merasakan, mendengar, atau mencicipi suatu jasa sebelum jasa tersebut
dibeli. Jadi jasa adalah produk tidak berwujud.
2.
Tidak tahan lama
(Perishability)
Berarti jasa tidak dapat disimpan untuk
kegunaan masa depan oleh pelanggan (ada beberapa kasus yang tidak umum, yaitu
pada saat barang- barang berwujud tidak dapat disimpan).
3.
Tidak dapat
dipisahkan (Inseparability) Berarti
produsen dan pembeli jasa biasanya harus melakukan kontrak langsung pada saat
pertukaran.
4.
Heterogenitas Berarti
terdapat peluang variasi yang lebih besar pada penyelenggaraan jasa daripada
produksi produk.
Menurut Tjiptono (2000), terdapat lima
dimensi kualitas jasa :
1.
Reliabilitas
(reliability), berkaitan dengan kemampuan perusahaan untuk memberikan layanan
yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat kesalahan apapun dan menyampaikan
jasanya sesuai dengan waktu yang disepakati.
2.
Daya tanggap (responsiveness), berkenaan dengan
kesediaan dan kemampuan para karyawan untuk membantu para pelanggan dan merespons
permintaan mereka, serta menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan
kemudian memberikan jasa secara cepat.
3.
Jaminan (assurance), yaitu
perilaku para karyawan
mampu menumbuhkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan yang bias menciptakan
rasa aman bagi para pelanggannya. Hal ini berarti para karyawan selalu bersikap
sopan dan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk
menangani setiap pertanyaan atau masalah pelanggan.
4.
Empati (emphaty), berarti perusahaan memahami
masalah para pelanggannya dan bertindak demi kepentingan pelanggan. Memberikan perhatian
personal kepada para pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman.
5.
Bukti fisik (tangibles), berkenaan dengan daya tarik fasilitas fisik, perlengkapan,
dan material yang digunakan perusahaan, serta penampilan karyawan.
2.5 Karakteristik Sistem Pengukuran Kinerja
Dengan munculnya berbagai paradigma baru
di mana bisnis harus digerakkan oleh consumen-focused, suatu sistem pengukuran kinerja
yang efektif paling tidak harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut (Yuwono
dkk, 2002): Didasarkan pada masing-masing aktivitas dan
karakteristik organisasi itu sendiri sesuai perspektif pelanggan; Evaluasi atas
berbagai aktivitas, mengggunakan ukuran-ukuran kinerja yang consumen-validated; Sesuai dengan
seluruh aspek kinerja aktivitas yang mempengaruhi pelanggan, sehingga
menghasilkan penilaian yang komprehensif; Memberikan umpan balik untuk membantu
seluruh anggota organisasi mengenali masalah-masalah yang mempunyai kemungkinan
untuk diperbaiki.
2.6 Balanced
Scorecard
Menurut Kaplan dan Norton (1996), Balanced Scorecard merupakan alat pengukur kinerja eksekutif yang
memerlukan ukuran komprehensif dengan empat
perspektif, yaitu perspektif keuangan, perspektif pelanggan, perspektif
bisnis internal, dan perspektif
pertumbuhan dan pembelajaran. Sementara itu Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997)
mendefinisikan Balanced Scorecard
sebagai: “ameasurement and management
system that views a business unit’s performance from four perspectives: financial, customer, internal business process,
and learning and growth.”
Dengan demikian, Balanced Scorecard merupakan suatu alat pengukur kinerja perusahaan
yang mengukur kinerja perusahaan secara keseluruhan, baik secara keuangan
maupun nonkeuangan dengan menggunakan empat perspektif yaitu, perspektif
keuangan, perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, dan perspektif
pertumbuhan dan pembelajaran. Pendekatan Balance
Scorecard dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan pokok, yaitu (Kaplan dan
Norton, 1996):
1.
Bagaimana
penampilan perusahaan dimata para pemegang saham? (perspektif keuangan)
2.
Bagaimana
pandangan para pelanggan terhadap perusahaan? (perspektif pelanggan)
3.
Apa yang menjadi
keunggulan perusahaan? (perspektif bisnis internal).
4.
Apa perusahaan
harus terus menerus melakukan perbaikan dan menciptakan nilai secara
berkesinambungan? (perspektif pertumbuhan dan pembelajaran).
Selain
itu, Balanced Scorecard juga
memberikan kerangka berpikir untuk menjabarkan strategi perusahaan ke dalam
segi operasional. Kaplan dan Norton (1996) mengatakan bahwa perusahaan
menggunakan focus pengukuran scorecard untuk
menghasilkan berbagai proses manajemen, meliputi :
1. Memperjelas
dan menerjemahkan visi dan strategi
2. Mengkomunikasikan
dan mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis
3. Merencanakan,
menetapkan sasaran, dan menyelaraskan berbagai inisiatif strategis
4. Meningkatkan
umpan balik dan pembelajaran strategis
Dengan Balanced Scorecard, tujuan suatu perusahaan tidak hanya dinyatakan dalam
ukuran keuangan saja, melainkan dinyatakan dalam ukuran dimana perusahaan tersebut
menciptakan nilai terhadap pelanggan yang ada pada saat ini dan akan datang,
dan bagaimana perusahaan tersebut harus meningkatkan kemampuan internalnya
termasuk investasi pada manusia, sistem, dan prosedur yang dibutuhkan untuk
memperoleh kinerja yang lebih baik di masa mendatang. Melalui Balanced Scorecard diharapkan bahwa
pengukuran kinerja keuangan dan non-keuangan dapat menjadi bagian dari sistem
informasi bagi seluruh pegawai dan tingkatan dalam organisasi. Saat ini Balance Scorecard tidak lagi dianggap sebagai
pengukur kinerja, namun telah menjadi sebuah rerangka berpikir dalam pengembangan
strategi.
2.7
Keunggulan Balanced Scorecard
Balanced
Scorecard memiliki keunggulan
yang menjadikan system manajemen strategik saat ini berbeda secara signifikan
dengan sistem manajemen strategik dalam manajemen tradisional (Mulyadi,2001).
Manajemen strategic tradisional hanya berfokus ke sasaran-sasaran yang bersifat
keuangan, sedangkan sistem manajemen strategik kontemporer mencakup perspektif
yang luas yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran
dan pertumbuhan. Selain itu berbagai sasaran strategik yang dirumuskan dalam
sistem manajemen strategik tradisional tidak koheren satu dengan lainnya,
sedangkan berbagai sasaran strategik dalam sistem manajemen strategic kontemporer
dirumuskan secara koheren. Di samping itu, Balanced
Scorecard menjadikan sistem manajemen strategic kontemporer memiliki
karakteristik yang tidak dimiliki oleh sistem manajemen strategik tradisional,
yaitu dalam karakteristik keterukuran dan keseimbangan. Menurut Mulyadi (2001),
keunggulan pendekatan Balanced Scorecard
dalam system perencanaan strategic adalah mampu menghasilkan
rencana strategic yang memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1.
Komprehensif
Balanced
Scorecard menambahkan perspektif
yang ada dalam perencanaan strategic, dari yang sebelumnya hanya pada
perspektif keuangan, meluas ke tiga perspektif yang lain, yaitu : pelanggan,
proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perluasan
perspektif rencana strategic ke
perspektif nonkeuangan tersebut menghasilkan manfaat sebagai berikut:
a.
Menjanjikan kinerja keuangan yang berlipat
ganda dan berjangka panjang,
b.
Memampukan perusahaan untuk memasuki
lingkungan bisnis yang kompleks.
2.
Koheren
Balanced
Scorecard mewajibkan personil
untuk membangun hubungan sebab akibat di antara berbagai sasaran strategik yang
dihasilkan dalam perencanaan strategik. Setiap sasaran strategik yang
ditetapkan dalam perspektif nonkeuangan harus mempunyai hubungan kausal dengan
sasaran keuangan.
Dengan demikian, kekoherenan sasaran strategik
yang dihasilkan dalam sistem perencanaan strategik memotivasi personel untuk
bertanggung jawab dalam mencari inisiatif strategik yang bermanfaat untuk
menghasilkan kinerja keuangan. Sistem perencanaan strategic yang menghasilkan sasaran strategik yang koheren akan menjanjikan
pelipatgandaan kinerja keuangan berjangka panjang, karena personel dimotivasi
untuk mencari inisiatif strategik yang mempunyai manfaat bagi perwujudan
sasaran strategik di perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal,
pembelajaran dan pertumbuhan. Kekoherenan sasaran strategic yang menjanjikan pelipatgandaan kinerja keuangan sangat
dibutuhkan oleh perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompetitif.
1.
Seimbang
Keseimbangan sasaran strategik yang
dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik penting untuk menghasilkan kinerja
keuangan berjangka panjang. Jadi perlu diperlihatkan garis keseimbangan yang
harus diusahakan dalam menetapkan sasaran- sasaran strategic di keempat perspektif.
2.
Terukur
Keterukuran sasaran strategik yang
dihasilkan oleh sistem perencanaan strategik menjanjikan ketercapaian berbagai
sasaran strategik yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Semua sasaran strategik
ditentukan oleh ukurannya, baik untuk sasaran strategik di perspektif keuangan
maupun sasaran strategik di perspektif non-keuangan.
Dengan
Balanced Scorecard, sasaran-sasaran strategik yang sulit diukur, seperti
sasaran-sasaran strategik di perspektif nonkeuangan, ditentukan ukurannya agar
dapat dikelola, sehingga dapat diwujudkan. Dengan demikian keterukuran sasaran-sasaran
strategik di perspektif nonkeuangan tersebut menjanjikan perwujudan berbagai
sasaran strategik nonkeuangan, sehingga kinerja keuangan dapat berlipat ganda
dan berjangka panjang.
2.8 Pengukuran Kinerja dengan Balanced Scorecard
Balanced
Scorecard mengembangkan seperangkat tujuan unit bisnis melampaui rangkuman
ukuran finansial, yang mampu membuat eksekutif perusahaan mengukur seberapa
unit bisnis mereka menciptakan nilai bagi para pelanggan perusahaan saat ini
dan yang akan datang, serta seberapa banyak perusahaan harus meningkatkan
kapabilitas internal dan investasi dalam sumber daya manusia. Definisi Balanced Scorecard yaitu : “the balanced scorecard is a management
system (not only a measurement system) that enables organizations to clarify
their vision and strategy and translate them into action. It provides feedback
around both the internal business processes and external outcomes in order to continuously
improve strategic performance and results. When fully deployed, the balanced scorecard
transforms strategic planning from an academic exercise into the nerve center of an enterprise”. (www.balancedscorecard.org). Menurut Tunggal (2000:2), Balanced Scorecard merupakan kelompok
tolak ukur kinerja yang terintegrasi yang berasal dari strategi perusahaan dan
mendukung strategi perusahaan di seluruh organisasi.
Balanced Scorecard
menurut Kaplan dan Norton (2000:9- 16) merupakan suatu konsep yang berusaha
menerjemahkan misi dan strategi perusahaan ke dalam seperangkat ukuran yang
menyeluruh yang memberi kerangka kerja bagi pengukuran dan sistem manajemen
strategis.
Berdasarkan
beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Balanced Scorecard merupakan suatu sistem pengukuran kinerja dengan
suatu pendekatan efektif yang seimbang (balanced)
antara empat perspektif yang berbeda yaitu perspektif keuangan, perspektif
pelanggan, perspektif proses bisnis internal, serta perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara ukuran
keuangan
2.9 Empat Perspektif Dalam Balanced Scorecard
Kaplan
dan Norton membagi Balanced Scorecard
dalam empat perspektif pengukuran yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses
bisnis internal dan proses belajar
dan berkembang.
2.9.1 Perspektif
Keuangan/Finansial
Analisis Rasio Keuangan atau Financial Ratio
adalah merupakan suatu alat analisa yang digunakan oleh perusahaan untuk
menilai kinerja keuangan berdasarkan data perbandingan masing-masing pos yang
terdapat di laporan keuangan seperti Laporan Neraca, Rugi / Laba, dan Arus Kas
dalam periode tertentu.
Salah satu alat yang digunakan untuk
mengetahui kondisi keuangan perusahaan dapat berwujud laporan keuangan. Laporan
keuangan menyajikan gambaran mengenai posisi keuangan dari kinerja perusahaan
dalam menghasilkan laba. Posisi keuangan perusahaan ditunjukkan dalam laporan
neraca, dalam laporan neraca kita dapat mengetahui kekayaan atau assets
perusahaan yang dimiliki (sisi aktiva), dan dari sisi pasiva dapat kita ketahui
darimana dana-dana untuk membiayai aktiva tersebut (dari modal sendiri atau
hutang), sedangkan kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba dapat kita lihat
dari laporan laba rugi perusahaan. Analisis laporan keuangan merupakan proses
yang penuh pertimbangan dalam rangka membantu mengevaluasi posisi keuangan dan
hasil operasi perusahaan pada masa sekarang dan masa lalu, dengan tujuan untuk
menentukan eliminasi dan prediksi yang paling mungkin mengenai kondisi dan kinerja
perusahaan pada masa mendatang. Analisis terhadap laporan keuangan suatu
perusahaan pada dasarnya untuk mengetahui tingkat profitabilitas, tingkat
solvabilitas, tingkat likuiditas dan stabilitas usaha, dan tingkat resiko atau
tingkat kesehatan suatu perusahaan.
Analisis Data Laporan Keuangan dilakukan dengan menganalisa masing
- masing pos yang terdapat di dalam laporan keuangan dalam bentuk rasio posisi
keuangan dengan tujuan agar dapat memaksimalkan kinerja perusahaan untuk masa
yang akan datang. Setiap tutup periode akhir bulan biasanya accounting
menyiapakan dan menyusun Laporan Keuangan yang terdiri dari Laporan Neraca,
Rugi Laba, Arus Kas, Perubahan Modal, dan Laporan tersebut diserahkan ke
pimpinan perusahaan. Hal umum yang biasa terjadi adalah mereka hanya fokus
terhadap Laporan Laba Rugi, namun ada hal yang lebih penting yang perlu
disajikan dalam penyampaian laporan ini yaitu mengenai Analisis Laporan
Keuangan.
Dalam organisasi sektor publik
perspektif keuangan untuk menjawab pertanyaan bagaimana kita meningkatkan
pendapatan dan mengurangi biaya? Perspektif keuangan menjelaskan apa yang
diharapkan oleh penyedia sumber daya terhadap kinerja keuangan , pada perpektif
keuangan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian
ini adalah:
1.
Profitabilitas
Rasio profitabilitas merupakan rasio
yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba
selama periode tertentu dan juga memberikan gambaran tentang tingkat
efektifitas manajemen dalam melaksanakan kegiatan operasinya. Efektifitas manajemen
disini dilihat dari laba yang dihasilkan terhadap penjualan dan investasi
perusahaan. Rasio ini disebut juga rasio rentabilitas. Rasio profitabilitas
merupakan rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan dalam mendapatka laba
melalui semua kemampuan dan sumber yang ada seperti kegiatan penjualan, kas,
modal, jumlah karyawan, jumlah cabang dan sebagainya (Syafri, 2008:304). Rasio
profitabilitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a.
Margin laba bersih (Net Profit Margin)
Net
Profit Margin (NPM) adalah rasio yang digunakan untuk menunjukkan kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan keuntungan bersih. Menurut Bastian dan Suhardjono
(2006), Net Profit Margin adalah perbandingan antara laba
bersih dengan penjualan. Rasio ini sangat penting bagi manajer operasi karena
mencerminkan strategi penetapan harga penjualan yang diterapkan perusahaan dan
kemampuannya untuk mengendalikan beban usaha. Menurut Weston dan Copeland
(1998), semakin besar Net Profit Margin berarti semakin
efisien perusahaan tersebut dalam mengeluarkan biaya-biaya sehubungan dengan
kegiatan operasinya.
b.
Return
On Investment.
Return on investment merupakan perbandingan antara laba bersih setelah
pajak dengan total aktiva. Return on investment adalah merupakan rasio
yang mengukur kemampuan perusahaan secara keseluruhan didalam menghasilkan
keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia didalam perusahaan
(Syamsuddin, 2009:63). Semakin tinggi rasio ini semakin baik keadaan suatu
perusahaan. Return on investment merupakan rasio yang menunjukkan berapa
besar laba bersih diperoleh perusahaan bila di ukur dari nilai aktiva (Syafri,
2008:63).
c.
Return On Equity
Return on equity merupakan perbandingan antara laba bersih sesudah
pajak dengan total ekuitas. Return on equity merupakan suatu pengukuran
dari penghasilan (income) yang tersedia bagi para pemilik perusahaan
(baik pemegang saham biasa maupun pemegang saham preferen) atas modal yang
mereka investasikan di dalam perusahaan (Syafri, 2008:305).
Return on equity adalah rasio yang memperlihatkan sejauh manakah
perusahaan mengelola modal sendiri (net worth) secara efektif, mengukur
tingkat keuntungan dari investasi yang telah dilakukan pemilik modal sendiri
atau pemegang saham perusahaan (Sawir 2009:20). ROE menunjukkan
rentabilitas modal sendiri atau yang sering disebut rentabilitas usaha.
2.
Likuiditas
Menurut Sutrisno (2009:215), “Likuiditas adalah kemampuan
perusahaan untuk membayar kewajiban-kewajibannya yang segera dipenuhi.”
Menurut Munawir (2007:31), “Likuiditas menunjukkan kemampuan
suatu perusahaan
untuk memenuhi kewajiban keuangannya yang segera harus
dipenuhi, atau kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangan
pada saat ditagih.” Perusahaan dikatakan likuid apabila memiliki kemampuan
untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya dan jika tidak mampu disebut
likuid. Rasio likuiditas digunakan untuk
mengukur kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban
jangka pendek yang segera harus dipenuhi. Rasio likuiditas ini terdiri dari:
a.
Current Ratio
Menurut Sutrisno (2009:216), “Current Ratio adalah rasio
yang membandingkan antara aktiva lancar yang memiliki perusahaan dengan
hutang jangka pendek. Aktiva lancar meliputi kas, piutang dagang, efek, persediaan dan aktiva
lancar lainnya. Sedangkan hutang jangka pendek meliputi hutang dagang, hutang wesel,
hutang bank, hutang gaji dan hutang lainnya yang segera harus dibayar
3. Solvabilitas
Rasio
ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban
jangka panjang. Ukuran yang dipakai untuk mengetahui solvabilitas adalah dengan
menggunakan Debt to equity ratio, dan
debt ratio.
a.
Debt Ratio
Rasio ini digunakan untuk mengukur
kemampuan perusahaan dalam menjamin hutang-hutangnya dengan sejumlah aktiva
yang dimilikinya. Semakin tinggi total debt semakin besar jumlah modal pinjaman
yang digunakan di dalam menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. (Syamsudin,
2007:54).
a. Debt to Equity Ratio
Rasio ini untuk mengukur seberapa besar
perusahaan dibelanjai oleh pihak kreditur. Semakin besar rasio ini berarti
semakin besar dana yang di ambil dari luar.
2.9.2 Perspektif Pelanggan
Filosofi manajemen
terkini telah menunjukkan peningkatan pengakuan atas pentingnya konsumen focus
dan konsumen satisfaction. Perspektif ini merupakan leading indicator. Jadi, jika pelanggan tidak puas maka mereka akan
mencari produsen lain yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kinerja yang buruk
dari perspektif ini akan menurunkan jumlah pelanggan di masa depan meskipun
saat ini kinerja keuangan terlihat baik.
Oleh Kaplan dan Norton
(2001) perspektif pelanggan dibagi menjadi dua
kelompok pengukuran, yaitu: customer
core measurement dan customer value prepositions. Customer
Core Measurement memiliki
beberapa komponen
pengukuran, yaitu:
1. Market Share
(pangsa pasar); Pengukuran ini mencerminkan bagian yang dikuasai perusahaan
atas keseluruhan pasar yang ada, yang meliputi: jumlah pelanggan, jumlah penjualan,
dan volume unit penjualan.
2. Customer Retention
(retensi pelanggan); Mengukur tingkat dimana perusahaan dapat mempertahankan
hubungan dengan konsumen.
3. Customer Acquisition (akuisisi
pelanggan); mengukur tingkat di mana suatu unit bisnis mampu menarik pelanggan
baru atau memenangkan bisnis baru.
4. Customer Satisfaction
(kepuasan pelanggan); Menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan
kriteria kinerja spesifik dalam value
proposition.
5. Customer Profitability
(profitabilitas pelanggan); mengukur keuntungan yang diperoleh perusahaan dari
penjualan produk/jasa kepada konsumen.
Sedangkan Customer Value Proposition merupakan
pemicu kinerja yang terdapat pada core value proposition yang didasarkan pada
atribut sebagai berikut:
a.
Product/service attributes
Meliputi fungsi dari produk atau jasa,
harga, dan kualitas. Pelanggan memiliki preferensi yang berbeda-beda atas
produk yang ditawarkan. Ada yang mengutamakan fungsi dari produk, kualitas,
atau harga yang murah. Perusahaan harus mengidentifikasikan apa yang diinginkan
pelanggan atas produk yang ditawarkan.
b.
Konsumen
relationship
Menyangkut perasaan pelanggan terhadap
proses pembelian produk yang ditawarkan perusahaan. Perasaan konsumen ini
sangat dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap
pelanggan berkaitan dengan masalah waktu penyampaian. Waktu merupakan komponen
yang penting dalam persaingan perusahaan. Konsumen biasanya menganggap penyelesaian
order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi kepuasan mereka.
c. Image and reputation
Menggambarkan faktor-faktor intangible yang menarik seorang konsumen
untuk berhubungan dengan perusahaan. Membangun image dan reputasi dapat dilakukan
melalui iklan dan menjaga kualitas seperti yang dijanjikan.
Tujuan dari perspektif kepuasan
pelanggan antara sektor publik dengan sektor swasta pada intinya sama yaitu
untuk mengetahui bagaimana pelanggan melihat organisasi ? Dengan begitu fokus utama
organisasi sektor publik pada perspektif ini adalah penyediaan barang dan jasa
publik yang berkualitas dengan harga yang terjangkau. Untuk melihat tingkat
kepuasan pelanggan, Valarie Zeithaml, A. Parasuraman, dan Leonard A. Berry
(1996) telah mengembangkan sebuah instrumen yang dinamakan Service Quality
(servqual) yang terbukti mampu mengukur tingkat kepuasan pelanggan atas
pelayanan yang mereka terima kedalam 5 dimensi yaitu:
1.
Wujud fisik,
adalah penampilan fisik seperti: tempat pelayanan, sarana dan prasarana yang
dapat dilihat langsung secara fisik oleh pelanggan.
2. Keandalan, yaitu kemampuan untuk memberikan
pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu dan memuaskan.
3.
Keandalan, yaitu
kemampuan untuk memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat waktu dan
memuaskan.
4.
Daya tanggap,
adalah kemampuan pegawai untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan
dengan tanggap.
5.
Jaminan, adalah
pengetahuan dan keramahan pegawai yang dapat
menimbulkan kepercayaan diri pelanggan terhadap perusahaan.
6.
Empati, adalah
ketersediaan pegawai perusahaan untuk peduli, memberikan perhatian pribadi
kepada pelanggan dan keyamanan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan
memahami kebutuhan pelanggan.
2.9.3 Perspektif Proses Bisnis
Internal
Pada dasarnya perspektif bisnis internal
adalah membangun keunggulan organisasi melalui perbaikan proses internal
organisasi yang berkelanjutan, dan perspektif ini harus mampu menjawab
pertanyaan kita harus unggul dibidang apa? serta bagaimana kita membangun
keunggulan?. Beberapa aspek yang dapat memberikan gambaran kinerja perspektif
ini, yaitu:
1.
Sarana dan
prasarana, adalah variabel yang menggambar kondisi sarana dan
prasarana yang dimiliki dalam mendukung kegiatan internal.
2.
Proses,
maksudnya adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan pegawai atas suatu rangkaian pekerjaan yang dilakukan
dalam memberikan pelayanan publik.
3.
Kepuasan
berkerja, adalah variabel yang menggambarkan tingkat kepuasan berkerja pegawai.
2.9.4 Perspektif Pembelajaran dan
Pertumbuhan
Dalam organisasi sektor public, salah
satu perspektif balanced scorecard yaitu
pertumbuhan dan pembelajaran difokuskan untuk menjawab pertanyaan bagaimana
organisasi terus melakukan perbaikan dan menambah nilai bagi pelanggan dan stakeholdersnya. Dengan demikian
organisasi sektor publik harus terus berinovasi, berkreasi dan belajar untuk
melakukan perbaikan secara terusmenerus dan menciptakan pertumbuhan yang
berkelanjutan. Indikator kinerja yang dapat menggambarkan perspektif ini
adalah:
1.
Motivasi (rewards
and punishment), variabel ini menggambarkan tingkat kepuasan pegawai atas
kebijakan-kebijakan yang diambil manajemen dalam menjalankan organisasi.
2.
Kesempatan
mengembangkan diri, adalah variabel yang menggambarkan tingkat kepuasan pegawai
atas program-program pengembangan diri yang diterapkan oleh organisasi.
3.
Inovasi,
merupakan variabel yang menunjukkan adanya kesempatan bagi pegawai untuk
kreatif dan menemukan hal-hal baru dalam upaya peningkatan pelayanan publik.
4.
Suasana dalam
berkerja, adalah variabel yang menggambarkan tingkat kepuasan pegawai atas
suasana kerja, hubungan antara pegawai dengan pimpinan dan kerjasama tim dalam
menyelesaikan pekerjaan
2.10 Balanced
Scorecard Sebagai Penilaian Kinerja
Menurut Mulyadi dan Setyawan (2001:218),
Balanced Scorecard memberikan rangka
komprehensif untuk menjabarkan misi ke dalam sasaran-sasaran strategi. Sasaran-sasaran
tersebut dapat dirumuskan karena balanced
scorecard menggunakan empat perspektif yaitu: keuangan, pelanggan, proses
bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan. Perspektif keuangan akan
menilai sasaran keuangan yang perlu dicapai organisasi dalam mewujudkan
visinya. Perspektif pelanggan memberikan gambaran segmen pasar yang dituju
serta tuntutan kebutuhan mereka dalam upaya untuk mecapai sasaran keuangan
tertentu. Perspektif proses bisnis internal memberikan gambaran proses yang harus
dibangun untuk melayani pelanggan dan untuk mencapai sasaran keuangan tertentu.
Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan merupakan pemacu untuk membangun
kompetisi personel, prasarana sistem informasi dan suasana lingkungan kerja
yang diperlukan untuk mewujudkan sasaran keuangan, pelanggan, serta proses
bisnis internal.
2.11 Kuesioner
Kuesioner ialah merupakan teknik
pengumpulan data yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana tingkat kepuasan
pelanggan yang sebenarnya. Setelah mendapatkan pelayanan yang diberikan,
pemberikan seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden,
untuk dijawab kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila
peneliti tahu dengan pasti variabel dan dimensi yang akan diukur dan tahu apa
yang bisa di harapkan dari responden.
Skala likert adalah suatu skala psikometrik yang umum digunakan dalam kuesioner,
dan merupakan skala yang paling banyak digunakan dalam riset berupa survey.
Dalam penelitian ini penulis menyediakan lima pilihan kelas bagi para responden
untuk menentukan tingkat kepuasan dan tingkat harapan responden terhadap suatu
pernyataan dari pilihan yang tersedia. Kelas atau interval dalam kuesioner ini
adalah:
1. = Sangat Tidak Puas 5. = Puas Sekali
2. = Tidak Puas
3. = Cukup Puas
4. = Puas
Setelah banyaknya kelas diketahui, kemudian
buat rentang skala dimana letak rata-rata penelitian responden terhadap unsur
diferensinya dan sejauh mana variasinya.
2.12 Validitas
Validitas
berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan
dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukam fungsi ukurannya (Azwar 1986).
Selain itu validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan bahwa variabel yang
diukur memang benar-benar variabel yang hendak diteliti oleh peneliti (Cooper
dan Schindler, dalam Zulganef, 2006).
Sedangkan
menurut Sugiharto dan Sitinjak (2006), validitas berhubungan dengan suatu
peubah mengukur apa yang seharusnya diukur. Validitas dalam penelitian
menyatakan derajat ketepatan alat ukur penelitian terhadap isi sebenarnya yang
diukur. Uji validitas adalah uji yang digunakan untuk menunjukkan sejauh mana
alat ukur yang digunakan dalam suatu mengukur apa yang diukur. Ghozali (2009)
menyatakan bahwa uji validitas digunakan untuk mengukur sah, atau valid
tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pertanyaan pada
kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner
tersebut.
Suatu
tes dapat dikatakan memiliki validitas yang tinggi jika tes tersebut
menjalankan fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang tepat dan
akurat sesuai dengan maksud dikenakannya tes tersebut. Suatu tes menghasilkan
data yang tidak relevan dengan tujuan diadakannya pengukuran dikatakan sebagai
tes yang memiliki validitas rendah.
Sisi
lain dari pengertian validitas adalah aspek kecermatan pengukuran. Suatu alat
ukur yang valid dapat menjalankan fungsi ukurnya dengan tepat, juga memiliki
kecermatan tinggi. Arti kecermatan disini adalah dapat mendeteksi
perbedaan-perbedaan kecil yang ada pada atribut yang diukurnya.
Dalam
pengujian validitas terhadap kuesioner, dibedakan menjadi 2, yaitu validitas
faktor dan validitas item. Validitas faktor diukur bila item yang disusun
menggunakan lebih dari satu faktor (antara faktor satu dengan yang lain ada
kesamaan).
Pengukuran
validitas faktor ini dengan cara mengkorelasikan antara skor faktor
(penjumlahan item dalam satu faktor) dengan skor total faktor (total
keseluruhan faktor). Validitas item ditunjukkan dengan adanya korelasi atau
dukungan terhadap item total (skor total), perhitungan dilakukan dengan cara
mengkorelasikan antara skor item dengan skor total item. Bila kita menggunakan
lebih dari satu faktor berarti pengujian validitas item dengan cara
mengkorelasikan antara skor item dengan skor faktor, kemudian dilanjutkan
mengkorelasikan antara skor item dengan skor total faktor (penjumlahan dari
beberapa faktor).
Dari
hasil perhitungan korelasi akan didapat suatu koefisien korelasi yang digunakan
untuk mengukur tingkat validitas suatu item dan untuk menentukan apakah suatu
item layak digunakan atau tidak. Dalam penentuan layak atau tidaknya suatu item
yang akan digunakan, biasanya dilakukan uji signifikansi koefisien korelasi
pada taraf signifikansi 0,05, artinya suatu item dianggap valid jika
berkorelasi signifikan terhadap skor total. Untuk melakukan uji validitas ini
menggunakan program SPSS. Teknik pengujian yang sering digunakan para
peneliti untuk uji validitas adalah menggunakan korelasi Bivariate Pearson
(Produk Momen Pearson). Analisis ini dengan cara mengkorelasikan masing-masing
skor item dengan skor total. Skor total adalah penjumlahan dari keseluruhan
item. Item-item pertanyaan yang berkorelasi signifikan dengan skor total menunjukkan
item-item tersebut mampu memberikan dukungan dalam mengungkap apa yang ingin
diungkap à Valid. Jika r hitung ≥ r tabel (uji 2 sisi dengan sig. 0,05) maka
instrumen atau item-item pertanyaan berkorelasi signifikan terhadap skor total
(dinyatakan valid).
2.13 Reliabilitas
Reliabilitas berasal dari kata
reliability. Pengertian dari reliability (rliabilitas) adalah keajegan
pengukuran (Walizer, 1987). Sugiharto dan Situnjak (2006) menyatakan bahwa
reliabilitas menunjuk pada suatu pengertian bahwa instrumen yang digunakan
dalam penelitian untuk memperoleh informasi yang digunakan dapat dipercaya
sebagai alat pengumpulan data dan mampu mengungkap informasi yang sebenarnya
dilapangan. Ghozali (2009) menyatakan bahwa reliabilitas adalah alat untuk mengukur
suatu kuesioner yang merupakan indikator dari peubah atau konstruk. Suatu
kuesioner dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap
pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Reliabilitas suatu
test merujuk pada derajat stabilitas, konsistensi, daya prediksi, dan akurasi.
Pengukuran yang memiliki reliabilitas yang tinggi adalah pengukuran yang dapat
menghasilkan data yang reliabel
Menurut Masri Singarimbun, realibilitas adalah
indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat
diandalkan. Bila suatu alat pengukur dipakai dua kali – untuk mengukur gejala
yang sama dan hasil pengukuran yang diperoleh relative konsisten, maka alat
pengukur tersebut reliable. Dengan kata lain, realibitas menunjukkan
konsistensi suatu alat pengukur di dalam pengukur gejala yang sama.
Menurut Sumadi Suryabrata (2004: 28)
reliabilitas menunjukkan sejauhmana hasil pengukuran dengan alat tersebut dapat
dipercaya. Hasil pengukuran harus reliabel dalam artian harus memiliki tingkat
konsistensi dan kemantapan. Reliabilitas, atau keandalan, adalah konsistensi
dari serangkaian pengukuran atau serangkaian alat ukur. Hal tersebut bisa
berupa pengukuran dari alat ukur yang sama (tes dengan tes ulang) akan
memberikan hasil yang sama, atau untuk pengukuran yang lebih subjektif, apakah
dua orang penilai memberikan skor yang mirip (reliabilitas antar penilai).
Reliabilitas tidak sama dengan validitas. Artinya pengukuran yang dapat
diandalkan akan mengukur secara konsisten, tapi belum tentu mengukur apa yang
seharusnya diukur. Dalam penelitian, reliabilitas adalah sejauh mana pengukuran
dari suatu tes tetap konsisten setelah dilakukan berulang-ulang terhadap subjek
dan dalam kondisi yang sama. Penelitian dianggap dapat diandalkan bila
memberikan hasil yang konsisten untuk pengukuran yang sama.
Tinggi rendahnya reliabilitas, secara
empirik ditunjukan oleh suatu angka yang disebut nilai koefisien reliabilitas.
Reliabilitas yang tinggi ditunjukan dengan nilai rxx mendekati angka 1. Kesepakatan
secara umum reliabilitas yang dianggap sudah cukup memuaskan jika ≥ 0.700. Pengujian
reliabilitas instrumen dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach karena instrumen
penelitian ini berbentuk angket dan skala bertingkat.
2.14 Penelitian Terdahulu
Sebelum melakukan penelitian ini,
penulis telah terlebih dahulu mempelajari beberapa penelitian tentang
pengukuran kinerja perusahaan yang menggunakan metode balanced scorecard. Masing-masing penelitian tersebut memiliki cara
pembahasan dan penekanan analisis data yang berbeda-beda sesuai dengan sudut
pandang dan kesulitan yang dihadapi oleh peneliti.
1.
Penelitian
tentang penilaian kinerja menggunakan metode Balanced Scorecard telah dilakukan sebelumnya, antara lain
dilakukan oleh Sudarmayasa (2002) yang berjudul Penerapan Balanced Scorecard sebagai alat penilaian kinerja pada PT EMKL
Badung. Variabel yang diteliti menggunakan empat perspektif yaitu perspektif
keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal, dan
perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Hasil dari penelitian ini bahwa
kinerja PT EMKL Badung dari tahun 1999-2001 ditinjau dari empat perspektif Balanced Scorecard adalah mengalami
peningkatan meskipun masih terdapat beberapa penurunan di dalam melakukan
penilaian seperti pada rasio profitabilitas. Namun, penurunan itu tidak begitu
mempengaruhi perusahaan.
2.
Penelitian kedua
dilakukan oleh Semadi (2005) yang berjudul Penilaian Kinerja PDAM Kabupaten
Klungkung. Variabel yang diteliti menggunakan empat perspektif yaitu keuangan,
pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kinerja PDAM Kabupaten Klungkung periode 2002-2004 meningkat
tiap tahunnya.
3.
Penelitian
ketiga dilakukan oleh Turker (2006) yang berjudul Analisis Penilaian Kinerja
dengan Metode Balanced Scorecard pada
Villa Puri Taman Merak Badung. Empat perpektif yang diteliti dari perspektif
keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan.
Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan kinerja Villa
Puri Taman Merak Bandung dari segi kinerja keuangan, produktivitas karyawan,
dan juga kepuasan karyawan.
Ketiga penelitian di atas memiliki
persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama melakukan penilaian kinerja
dengan menggunakan empat perspektif. Adapun perspektif Balanced Scorecard yang digunakan adalah perspektif keuangan,
perspektif pelanggan, perspektif bisnis internal, serta perspekif pembelajaran
dan pertumbuhan.